Pagi dan Senja

Tak selalu ada kata di setiap cinta.

Tak harus ada cumbu saat melepas rindu.

Dan tak perlu ciptakan jejak saat ada jarak.

***

Pagi yang memudar, serupa kepulan kopi panas dari cangkir keramik yang pelan-pelan menghilang. Bendra menghela nafas panjang, menemukan beberapa kepingan memori tentang dia. Kepenatan seminggu ini tiba-tiba menjelma kegairahan.

____

Dia berjalan menghampiriku, meminta maaf karena tidak datang rapat hari itu. Mencoba menebus rasa bersalahnya dengan meminta tugas untuk dikerjakan. Aku mengernyitkan dahi, buat apa meminta maaf untuk hal yang selalu diulangi. Tak ada arti. Aku menjawab, tak perlu repot-repot ikut berpartisipasi kalau tak sanggup berkomitmen tinggi.

Penyesalan terlukis jelas di wajahnya. Sembari merapikan bawaan, dia mengatakan bahwa besok akan datang, pasti. Lalu melenggang pergi.

Aku mengutuk diri. Kenapa yang ada di hati tak selalu sejalan dengan ucapan? Aku sudah mengetahui dengan pasti alasanmu, dan aku memaklumi.

Aku selalu menanti kritikan, saran, dan ide-ide cadas dari bibirmu. Dan yang paling aku nanti adalah binarnya matamu saat kata-kata terlontar rapi menghiasi rapat kami.

Aku ingin mengakui, namun belum terjadi.

Hingga saat ini.

***

Senja yang menjingga, serupa daun teh yang berbaur dengan air panas dalam gelas, bergradasi kemudian pekat.

Wina menyeruput teh tawar sambil memandang hamparan perkebunan sayur dari balkon kamar. Suasana ini mengingatkannya pada sosok laki-laki yang tak bisa berkompromi.

____

Aku terburu-buru saat melihatnya melintas di depan dekanat, memburunya. Aku merasa bersalah sebab sudah dua kali aku tak bisa mengikuti rapat relawan mengajar di pengungsian. Bukan berniat, tapi ini semacam amanat. Di hari yang sama adikku harus menjalani kemoterapi dan aku tidak bisa membiarkannya sendiri. Sebab ayah dan ibu sudah tak bersama kami.

Masih dengan nafas yang memburu, aku menyampaikan permintaan maafku. Aku sudah mengira kalau hal ini tak ada artinya untukmu. Tapi setidaknya aku berusaha membuktikan bahwa aku masih berniat untuk berkontribusi.

Dan akhirnya aku memutuskan pergi, saat permintaan maaf berbalas amarah. Tapi aku masih sempat berjanji esok hari.

Bendra, bertemu denganmu tanpa sengaja di lorong rak-rak buku perpustakaan kampus waktu itu, mengantarkanmu ke mimpiku. Tanpa alasan tanpa paksaan.

Sejak saat itu, iya saat itu mulai tumbuh.

***

Pagi dan senja.

Tak bisa menyatu, tapi tanpa salah satu, akan berakhir sendu.

***

Cinta itu lucu, keduanya sama-sama menunggu padahal hatinya rindu. Cinta itu lugu, keduanya sama-sama menunggu padahal hatinya menggebu. –sam

27 Mei 2016

Leave a comment